Rabu, 24 September 2025 - 19:51 WIB
Wakil Gubernur Sulawesi Barat (Sulbar), Salim S Mengga, menanggapi perbincangan publik terkait imbauan konsumsi pangan lokal seperti ubi, singkong, jagung, sagu, pisang dan lainnya, sebagai alternatif sumber karbohidrat selain beras.
Artikel.news, Mamuju – Wakil Gubernur Sulawesi Barat (Sulbar), Salim S Mengga, menanggapi perbincangan publik terkait imbauan konsumsi pangan lokal seperti ubi, singkong, jagung, sagu, pisang dan lainnya, sebagai alternatif sumber karbohidrat selain beras.
Ia menegaskan, masyarakat perlu mengubah cara pandang terhadap pangan non-beras dan kembali menghargai kekayaan pangan lokal yang selama ini terlupakan.
"Saya kira begini. Sumber-sumber pangan nasional kita sebenarnya tidak hanya terikat pada beras. Di masa lalu, sebelum pertanian kita lebih maju seperti saat ini, pangan kita sangat beragam. Ada dari ubi kayu, sagu, jagung, dan lain-lain," kata Salim S Mengga saat diwawancarai, Rabu (24/9/2025).
Pasangan Gubernur Sulbar Suhardi Duka ini menyampaikan, masyarakat Sulbar dahulu bisa membangun daerah tanpa bergantung pada beras. Namun, karena peningkatan produksi beras dan perubahan pola konsumsi, masyarakat kini terlalu mengandalkan satu jenis bahan pokok, yaitu nasi dari beras.
"Kondisi sekarang, perubahan iklim, alih fungsi lahan, pertumbuhan penduduk, menuntut kita kembali melihat ke belakang, pada bahan pangan tradisional kita yang terbukti mampu menghidupi banyak generasi," ujarnya.
Salim S Mengga mencontohkan masyarakat Mandar di masa lalu yang mengonsumsi nasi jagung dan jepa (olahan singkong). Makanan tersebut menjadi favorit nelayan karena murah, bergizi dan tahan lama.
"Saya pribadi besar karena makan jepa, nasi jagung, pisang. Saya bisa masuk tentara, jadi jenderal. Jadi bukan karena makan beras. Gizi dari makanan itu cukup untuk membuat saya tumbuh sehat," tegas Salim S Mengga.
Ia menyayangkan masih adanya pandangan yang menganggap singkong dan sejenisnya sebagai "makanan kelas bawah". Padahal, saat ini banyak produk turunan dari bahan tersebut justru hadir di supermarket dalam bentuk camilan modern, makanan kemasan, bahkan pangan olahan bernilai ekspor.
Salim S Mengga juga menyoroti ketimpangan antara pertumbuhan konsumsi beras dengan pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi, yang berimbas pada fluktuasi harga beras yang merugikan masyarakat berpenghasilan rendah.
"Waktu panen, justru harga beras naik. Ini jadi pertanyaan besar. Kita harus perhitungkan semua ini dan mendorong masyarakat untuk mencari alternatif pangan lokal yang lebih terjangkau," pungkasnya.
Ia mengajak masyarakat, terutama generasi muda dan kalangan intelektual, untuk bijak menyikapi imbauan pemerintah mengenai diversifikasi pangan.
"Belajarlah berpikir dewasa. Jangan anggap remeh makanan lokal. Tanya pada kakek-nenekmu, dulu mereka makan apa. Dalam tubuh kita ini, pasti ada unsur singkong, jagung, sagu. Itu bagian dari identitas kita," tutup Salim S Mengga.
Dengan konsumsi pangan lokal, menurutnya, masyarakat tidak hanya membantu memperkuat ketahanan pangan daerah, tetapi juga menjaga warisan budaya dan kemandirian ekonomi lokal.(rls)
Laporan | : | Faisal |
Editor | : | Ruslan Amrullah |