Senin, 07 Juni 2021 - 15:27 WIB
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Sulsel menemukan indikasi penyalahgunaan bantuan COVID-19 di Sekretariat DPRD Sulsel.
Artikel.news, Makassar - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Sulsel menemukan indikasi penyalahgunaan bantuan COVID-19 di Sekretariat DPRD Sulsel.
Dari temuan BPK disebut penyalurannya tidak tepat sasaran, tidak tepat kuantitas, dan tepat kualitas. Selain itu ada potensi tumpang tindih penerima bantuan sosial.
Di sekretariat DPRD anggaran untuk bansos dialokasikan sebesar Rp8,4 miliar. Tiap anggota DPRD Sulsel mendapat jatah Rp100 juta untuk menyalurkan bantuan berupa sembako kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Bukan hanya di sekretariat DPRD, sejumlah OPD juga mendapat jatah untuk menyalurkan bansos, seperti dinas sosial sebesar Rp16 miliar dan Badan Penghubung Daerah Rp687 juta.
Dilansir dari Suarasulsel.id, Senin (7/6/2021), pada laporan hasil pemeriksaan BPK disebutkan bahwa tahapan perencanaan awal penyaluran bantuan sembako ditetapkan sesuai basis data. Yang dijadikan rujukan adalah penduduk yang telah terdata di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) oleh Kementerian Sosial.
Namun untuk dua OPD penyalur, yakni Sekretariat DPRD Sulsel dan Badan Penghubung tidak ada mekanisme dan kriteria yang jelas mengenai proses pemilihan keluarga penerima manfaat (KPM). Penyaluran juga tidak merujuk ke basis DTKS.
Mekanisme penyaluran bantuan sembako pada sekretariat DPRD diserahkan kepada masing-masing anggota DPRD. Setiap anggota DPRD diberikan pagu anggaran sebesar Rp100 juta dan dilaksanakan melalui empat tahap.
Sebelumnya, Plt Kepala Inspektorat Sulsel, Sulkaf Latief, mengatakan rekomendasi perbaikan oleh BPK masuk saat dirinya belum menjabat. Sehingga lambat ditindaklanjuti.
Beberapa temuan soal penanganan Covid-19 itu merupakan masalah administrasi. Saat ini, pihaknya sedang melakukan perampungan data soal tindaklanjut rekomendasi tersebut.
Ia mengaku ada beberapa OPD yang telah menyelesaikan rekomendasi tersebut. Dinas Sosial salah satunya.
Ia mengaku batas tindak lanjut rekomendasi BPK adalah 2 kali 30 hari. Ia sudah mewanti-wanti agar OPD yang punya temuan segera menindaklanjuti temuan tersebut. Jika tidak, maka aparat penegak hukum bisa mengusut.
Terpisah Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia menyorot kekacauan pengelolaan keuangan di Pemprov Sulsel di bawah kepemimpinan Gubernur Sulsel (Nonaktif) Nurdin Abdullah.
Menurutnya, jika mengacu pada tugas dan tanggung jawab Anggota DPRD yang salah satunya sebagai lembaga yang mengawasi penggunaan anggaran.
“Mengalirnya dana dari Pemprov Sulsel ke Anggota DPRD adalah kekeliruan dan tidak sesuai dengan mekanisme penggunaan anggaran,” kata Peneliti Kopel Indonesia, Herman, dikutip dari Trotoar.id, Senin (7/6)/
Sebab, kata dia, DPRD bukan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang mesti diberikan jatah dari Pemprov dalam hal penggunaan anggaran penanganan Covid-19.
“Ini terbukti dengan adanya temuan BPK, yang meminta setiap anggota wajib mengembalikan Rp100 juta dari 85 anggota DPRD Sulsel,” terang Herman.
“Ini juga menjadi penyebab turunnya penilaian dari WTP menjadi WDP dari BPK kepada Pemprov Sulsel,” tambah Herman.
Kopel pun mendorong kepada Komisi Pemberantasan Anti Korupsi (KPK) untuk menindaklanjuti temuan tersebut. “Kita mendesak kepada KPK untuk menindaklanjuti temuan tersebut,” ujarnya.
Laporan | : | Supri |
Editor | : | Ruslan Amrullah |