Ahad, 09 Februari 2025 - 19:46 WIB
Aktivis hukum Hasri,SH,MH
Artikel.news, Mamuju – Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, asas dominus litis memberikan kewenangan penuh kepada kejaksaan dalam menentukan apakah suatu perkara pidana dilanjutkan ke pengadilan atau dihentikan.
Namun, kewenangan absolut ini kini menjadi sorotan karena dinilai berpotensi menciptakan ketimpangan hukum dan mengancam prinsip keadilan.
Menanggapi hal tersebut, aktivis hukum Hasri,SH,MH, memberikan pandangan kritis terhadap penerapan asas ini. Ia menekankan pentingnya koordinasi dan komunikasi yang efektif antara pihak kepolisian dan kejaksaan.
“Asas Dominus Litis tidak berarti jaksa dapat bertindak sewenang-wenang,” tegas Hasri, Ahad (9/2/2025).
“Kepolisian, sebagai pihak yang melakukan penyidikan awal, juga harus memiliki peran dalam menentukan kelayakan suatu perkara untuk diajukan ke pengadilan. Jangan sampai asas ini justru mengabaikan peran dan kontribusi kepolisian,” sambungnya.
Asas dominus litis sering kali digunakan tanpa mekanisme pengawasan yang efektif. "Kewenangan jaksa yang terlalu dominan dapat membuka peluang intervensi dalam proses hukum. Ada potensi ketidakadilan, terutama jika keputusan penuntutan dipengaruhi oleh kepentingan tertentu," ujar Hasri selaku founder Kantor Hukum HJ Bintang dan Partners.
Ketimpangan ini terlihat dalam beberapa kasus, di mana perkara tertentu dihentikan dengan alasan kurangnya bukti, sementara kasus lain dengan situasi serupa tetap berlanjut.
Hal ini dinilai bertentangan dengan asas equality before the law yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Selain itu, kewenangan jaksa dalam menuntut sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan sering kali bertabrakan dengan hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan peradilan yang adil (fair trial).
Prinsip ini sebenarnya telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."
Mekanisme praperadilan yang seharusnya menjadi alat kontrol terhadap kewenangan jaksa masih sangat terbatas. Pasal 77 KUHAP memang memberikan hak kepada tersangka atau terdakwa untuk mengajukan praperadilan guna menguji sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Namun, dalam praktiknya, pengawasan terhadap keputusan jaksa sering kali tidak efektif karena terbatasnya cakupan praperadilan yang tidak bisa menilai substansi dari alasan penghentian perkara.
Oleh karena itu, Hasri mendesak adanya reformasi dalam sistem penuntutan agar asas dominus litis tidak disalahgunakan.
"Justru saya mengusulkan agar pengawasan terhadap kejaksaan diperkuat melalui lembaga independen dan perluasan mekanisme praperadilan, agar tidak terjadi penyala gunaan wewenang",Tambah Hasri.
Jika tidak ada perubahan, dominasi jaksa dalam sistem peradilan pidana dikhawatirkan akan semakin memperlebar ketimpangan hukum di Indonesia.
"Oleh karena itu, evaluasi terhadap asas dominus litis menjadi langkah yang wajib dan mendesak untuk dilakukan agar memastikan keadilan benar-benar ditegakkan sesuai dengan prinsip negara hukum," tutup Hasri.
Laporan | : | Faisal |
Editor | : | Ruslan Amrullah |