Kamis, 31 Maret 2022 - 11:39 WIB
Ilustrasi masyarakat antre untuk mendapatkan minyak goreng
Artikel.news, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki delapan pelaku usaha besar yang menguasai 70 persen pasar minyak goreng di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut diduga melakukan pelanggaran atas penetapan harga, kartel, dan penguasaan pasar.
"Ada delapan besar kelompok pelaku usaha penguasa pasar, hampir semua terintegrasi dengan CPO (Crude Palm Oil). Penguasaan mereka di pasar minyak goreng itu hampir 70 persen," kata Direktur Investigasi KPPU Gopprera Panggabean, dikutip dari Medcom.id, Kamis (31/3/2022).
Dia menambahkan, saat ini KPPU tengah berusaha mendapatkan bukti yang bisa menguatkan dugaan-dugaan pelanggaran. Sejumlah laporan keuangan perusahaan terbuka yang diduga melakukan pelanggaran telah diperiksa oleh KPPU.
Hanya, sejauh ini laporan keuangan tersebut masih bersifat konsolidasi sehingga KPPU meminta perusahaan tersebut untuk memerinci laporan keuangan terkait minyak goreng.
"Beberapa laporan keuangan sudah kita lihat, tapi itu masih konsolidasi, kita akan melihat laporan keuangan yang lebih rinci dan kita lihat ke bawah. Ini tergantung pada seberapa cepat mereka menyerahkan," ungkapnya.
Lebih lanjut, dugaan pelanggaran penetapan harga didasari pada pergerakan harga minyak goreng mulai 2020 hingga 2022. KPPU mendapati adanya ketidaksesuaian pergerakan, di mana saat harga CPO pernah mengalami penurunan, namun harga minyak goreng tidak.
Lalu ada masa saat harga CPO stabil, tapi harga minyak goreng mengalami kenaikan, dan harga CPO turun harga minyak goreng justru naik.
"Kita melihat pergerakan harga dari semua produsen dan itu kita kaitkan dengan hubungannya terhadap biaya produksi. Kita semua tahu komposisi terbesar dari minyak goreng adalah CPO. Artinya kalau harga CPO turun, harusnya minyak goreng turun, dan di situ persaingan bekerja," jelas Gopprera.
Lalu pada dugaan tindak kartel, KPPU menduga adanya persekongkolan sejumlah produsen minyak goreng untuk menahan penyaluran kepada peritel. Pasalnya, berdasarkan keterangan dari peritel, KPPU mendapatkan informasi bahwa permintaan pasokan tidak dapat dipenuhi oleh produsen seperti yang diajukan.
Pendalaman informasi dari peritel itu akan dikaitkan dan dikaji dengan menyesuaikan histori fakta atas perilaku pasar sebelum dan sesudah kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) dikeluarkan pemerintah.
“Karena kita lihat, setelah kebijakan HET, beberapa pasokan itu langsung sulit ditemukan, termasuk merek-merek terkenal, itu tidak ada sama sekali baik di peritel modern, maupun tradisional,” imbuh Gopprera.
Selain itu, dugaan kartel juga berangkat dari adanya temuan mengenai pergerakan harga yang sama dari pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang menjadi pesaing usahanya. Nantinya, KPPU bakal melihat secara mendalam mengenai perbedaan profit tiap perusahaan untuk memperkuat dugaan kartel minyak goreng.
Diketahui sebelumnya, KPPU mengumumkan telah mendapatkan satu alat bukti dugaan pelanggaran penetapan harga, kartel, dan penguasaan pasar. Hal itu dilakukan setelah dilakukan pemanggilan 44 pihak yang terdiri dari produsen, peritel, pemerintah, distributor, asosiasi, hingga perusahaan pengemasan.
Dari hasil pemeriksaan tersebut, KPPU menduga adanya pelanggaran terhadap Undang Undang 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pelanggaran diduga terjadi atas pasal 5 mengenai penetapan harga, pasal 11 mengenai katel, dan pasal 19 huruf c mengenai penguasaan pasar.
Sementara itu, Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Ranamanggala mengungkapkan, pihaknya telah memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah terkait polemik minyak goreng. Dalam jangka pendek misalnya, pengambil kebijakan dinilai perlu memperkuat pengendalian stok CPO sebagai tindak lanjut kebijakan Domestic Market Obligation (DMO)-Domestic Price Obligation (DPO).
Hal itu dapat dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa langkah, yakni, perlu memastikan keberadaan stok CPO dari tingkat perkebunan kelapa sawit, industri pengolahan CPO sampai dengan pengguna CPO. “Untuk itu, diperlukan proses pelacakan untuk tiap tahap jalur distribusi CPO tersebut,” kata Mulyawan.
Laporan | : | Wahyu |
Editor | : | Ruslan Amrullah |