Selasa, 28 Oktober 2025 - 13:49 WIB

Artikel.News, Makassar - Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Sulawesi Selatan mengungkap sejumlah dampak yang dianggap mengkhawatirkan terkait pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2025 (Inpres 17/2025) tentang percepatan pembangunan koperasi di desa/kelurahan, yakni program Kopdes Merah Putih (Kopdes MP). Sekaligus mengingatkan bahwa peran aktif desa sebagai pengelola sendi ekonomi lokal justru terancam diabaikan.
Menurut Ketua Apdesi Sulsel, Sri Rahayu Usmi, banyak perangkat desa mulai merasa enggan menjalankan tugas mereka, bahkan mempertimbangkan mundur, karena khawatir terjerat masalah hukum akibat regulasi yang dianggap tidak berpihak pada desa.
Ia mencontohkan, instruksi tersebut memberikan ruang bagi penunjukan pihak luar, yakni PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero), sebagai pelaksana pembangunan dan pengendali dana proyek, sementara Pemerintah Desa seharusnya memiliki kontrol penuh.
“Dana Desa dijadikan jaminan 30 persen dan dikelola PT Agrinas. Seharusnya yang mengelola adalah Pemerintah Desa,” kata Sri Rahayu dalam keterangan persnya, Senin (27/10/2025).
Dalam skema yang ia soroti, alokasi hingga 30 % dari Dana Desa dijamin dalam kebijakan, sementara pengelolaan teknis proyek berada di tangan pihak eksternal, sebuah konfigurasi yang menurut Apdesi Sulsel mengikis kemandirian desa dan potensi musyawarah desa sebagai landasan demokrasi lokal.
Lebih lanjut, pembangunan fisik gudang atau gerai koperasi dianggap dipaksakan tanpa melalui studi mendalam terhadap potensi ekonomi desa masing-masing.
“Fisik gudang yang mesti dibangun di awal padahal belum ada kajian yang komprehensif akan potensi desa yang bisa menjadi sumber penghasilan Kopdes,” ungkapnya.
Apdesi Sulsel juga menegaskan bahwa pengembangan Kopdes MP seharusnya dimulai dari peningkatan kapasitas manusia (SDM) dan pemberdayaan masyarakat, bukan hanya soal infrastruktur atau bangunan.
“Mestinya anggaran untuk Kopdes Merah Putih ini diprioritaskan dalam peningkatan kapasitas SDM yang nantinya akan mengelola koperasi tersebut,” Ketua Apdesi Sulsel menegaskan.
Selain itu, kehadiran unsur militer dalam pembangunan koperasi juga dikritik karena dianggap tidak sesuai dengan semangat pemberdayaan desa.
“Pelibatan TNI dalam pembangunan ruang usaha koperasi membuat suasana di desa jadi tidak sehat. Desa bukan wilayah operasi militer, tapi ruang partisipasi warga,” ujarnya.
Dampak praktis dari kebijakan ini, menurut Apdesi Sulsel, telah mulai muncul. Pencairan Dana Desa di beberapa wilayah dikabarkan tersendat karena harus menyesuaikan administrasi dengan aturan anyar Kopdes MP, yang berpotensi menunda kegiatan pembangunan maupun pemberdayaan warga.
Karena itu, Apdesi Sulsel mengusulkan agar pengoperasian Kopdes MP efektif mulai tahun 2026, mengingat sebagian desa sudah mencairkan dana sebelum regulasi terbit. Sri Rahayu menegaskan bahwa regulasi saat ini dianggap bertentangan dengan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang ingin menguatkan ekonomi desa.
“Aturannya semua sepertinya sangat berbeda ketika mengupas apa yang menjadi niat baik Pak Prabowo,” ucapnya.
Meskipun Apdesi Sulsel mendukung niat Presiden, berdasarkan laporan dari pemerintah desa, pengurus Kopdes, dan masyarakat, eksekusi lapangan dianggap belum mencerminkan semangat tersebut.
“Kopdes MP itu sudah berbadan hukum, boleh melaksanakan kegiatan. Mengapa bukan pengurus Kopdes ini yang mengurus? Sangat disayangkan ketika kemudian dalam hal pelaksana tidak sesuai dengan niat baik Pak Prabowo,” sambung Sri Rahayu.
Sebagai langkah lanjutan, Apdesi Sulsel mendesak agar Kementerian Koperasi dan UKM bersama Komisi VI DPR RI menggelar rapat dengar pendapat untuk membahas keresahan di tingkat desa.
Apdesi juga mengingatkan bahwa tanpa pelibatan penuh pemerintah desa dalam perencanaan dan pengelolaan, Inpres 17/2025 berpotensi mengulang kegagalan serupa proyek KUD (Koperasi Unit Desa) di masa lalu.
| Laporan | : | Aan |
| Editor | : | Ruslan Amrullah |