Kamis, 06 April 2023 - 22:20 WIB
Dampak dari krisis populasi di Jepang kini menyebabnya terjadinya resesi seks. Jepang mengalami angka kelahiran terendah dalam sejarah.(Foto: Unsplash)
Artikel.news, Tokyo - Dampak dari krisis populasi di Jepang kini menyebabnya terjadinya resesi seks. Jepang mengalami angka kelahiran terendah dalam sejarah.
Imbasnya, sejumlah sekolah mengalami kekurangan murid dan banyak yang harus ditutup karena ketiadaan siswa.
Dilansir dari Kompas.com, Kamis (6/4/2023), angka kelahiran di Jepang anjlok di bawah 800 ribu pada tahun 2022. Jumlah tersebut dinilai menjadi rekor terendah sejauh ini.
Fenomena menurunnya angka kelahiran yang lebih cepat dari perkiraan memberikan pukulan telak bagi sekolah umum yang lebih kecil yang seringkali menjadi jantung kota dan desa pedesaan.
Sekitar 450 sekolah tutup setiap tahun, menurut data pemerintah.
Antara tahun 2002 dan 2020, hampir 9.000 sekolah ditutup sehingga sulit bagi daerah terpencil untuk memikat penduduk baru dan lebih muda.
Ten-ei, sebuah desa berpenduduk kurang dari 5.000 dengan hanya sekitar 10 persen di bawah usia 18 tahun.
Pada tahun 1950 desa itu memiliki lebih dari 10.000 penduduk, didukung oleh pertanian dan manufaktur.
Tetapi ketidaknyamanan dan lokasi yang dinilai terpencil mendorong penduduk untuk pergi.
Depopulasi bertambah cepat setelah bencana 11 Maret 2011 di pembangkit nuklir Fukushima Dai-ichi yang berjarak kurang dari 100 km dengan Ten-ei menderita beberapa kontaminasi radioaktif yang telah dibersihkan.
SMP Yumoto, sebuah bangunan dua lantai yang terletak di pusat distrik, memiliki sekitar 50 lulusan per tahun selama masa kejayaannya di tahun 1960-an.
Jumlah lulusan sekolah tersebut terus merosot. Eita dan Aoi menjadi dua anak yang melanjutkan di Yumoto dalam tiga tahun terakhir.
“Masyarakat sangat kecewa karena tidak ada lagi sumber budaya,” kata kepala sekolah Mikio Watanabe tentang keputusan penutupan sekolah.
Para ahli memperingatkan bahwa penutupan sekolah di pedesaan akan memperlebar kesenjangan nasional dan membuat daerah terpencil berada di bawah tekanan yang lebih besar.
“Penutupan sekolah berarti kotamadya pada akhirnya akan menjadi tidak berkelanjutan,” kata Touko Shirakawa, dosen sosiologi di Universitas Wanita Sagami.
Laporan | : | Supri |
Editor | : | Ruslan Amrullah |