Senin, 14 Februari 2022 - 18:39 WIB
Pesawat jet tempur Rafale buatan Prancis
Artikel.news, Jakarta - Kementerian Pertahanan (Kemenhan) telah menandatangani kontrak pembelian 6 unit pesawat jet tempur Rafale dari Prancis. Nilai kontrak untuk pembelian 6 pesawat itu sebesar Rp1,1 miliar dolar AS atau setara Rp15,7 triliun.
Juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan usai meneken kontrak untuk membeli enam unit jet tempur Rafale, maka tahap selanjutnya tinggal menunggu pembayaran uang muka.
Pembayaran uang muka, kata Dahnil, bakal dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Ia menyebut nilai kontrak untuk pembelian enam unit jet tempur Rafale Rp15,7 triliun.
"Jadi, yang sudah kontrak itu ada 6 unit jet tempur Rafale. Untuk yang enam unit ini butuh diaktifkan kontraknya oleh Kementerian Keuangan. Jadi, bahasa sederhananya setelah kontrak harus dibayar DP (uang muka) nya," ujar Dahnil kepada media, dikutip dari IDN Times, Senin (14/2/2022).
Sementara, sisa 36 unit jet tempur lainnya belum dilakukan pemesanan dan tanda tangan kontrak. Dahnil memastikan proses pembeliannya dilakukan secara bertahap.
Pria yang sudah menjadi jubir Prabowo Subianto sejak di Partai Gerindra itu menyebut usai dilakukan pembayaran uang muka, proses produksi baru dilakukan. Ia menekankan pembelian alutsista tidak sama dengan membeli kendaraan ke dealer yang setelah terjadi transaksi, maka barangnya langsung dikirim ke rumah.
"Kami prediksi hingga ke tahap delivery, butuh waktu hampir 56 bulan atau hampir lima tahun," kata dia.
Dahnil menjelaskan, Prabowo sempat berkunjung ke sejumlah negara sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan membeli jet tempur Rafale. Selain ke Amerika Serikat, Prabowo juga sempat ke Turki, hingga ke Prancis. Khusus ke Prancis, Prabowo datang ke sana hingga tiga kali.
Selain itu, Dahnil menyebut ada empat alasan mengapa Prabowo memilih Rafale. Pertama, efektivitas atau tepat guna. Menurut Dahnil, Prabowo selalu ingat pesan Presiden Joko "Jokowi" Widodo bahwa belanja alutsista itu didasari kebutuhan bukan keinginan.
"Sementara, kita butuh alutsista terbaik untuk menjaga 81 ribu kilometer garis pantai Indonesia dan lebih dari 7,7 juta kilometer persegi luas wilayah Indonesia. Pemerintah harus pastikan jet tempur atau alutsista yang dipilih tepat guna dan bisa digunakan untuk menjaga kepentingan NKRI," kata dia.
Alasan kedua, menyangkut geopolitik dan geo strategis. Dahnil menjelaskan setiap kali dilakukan belanja alutsista, maka hal tersebut berkaitan erat dengan dimensi diplomasi pertahanan.
Berdasarkan data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), ada 67 negara di dunia yang menjadi produsen alutsista. Namun, hanya lima negara yang jadi produsen terbesar yakni Amerika Serikat, Prancis, Rusia, Jerman dan China.
"Maka, setiap Menhan mengambil keputusan maka harus dipastikan bersamaan dengan kepentingan Indonesia melakukan diplomasi pertahanan," ujarnya.
Dahnil seolah merujuk bahwa jangan sampai pembelian alutsista dari negara tertentu kemudian memicu embargo suku cadang dari negara lain.
Alasan ketiga, yakni efisiensi. Ia mengatakan keinginan Kemhan untuk membeli alutsista harus disesuaikan dengan ruang dan kapasitas fiskal. "Jadi, harus dipastikan apakah APBN memiliki kemampuan untuk membeli alutsista," tutur dia.
Alasan keempat, harus ada alih teknologi dan konten lokal. Hal tersebut berangkat dari visi Jokowi yang ingin ke depan harus ada kemandirian industri pertahanan.
"Oleh sebab itu, ketika belanja alutsista, kita harus mendorong adanya alih teknologi sehingga industri pertahanan domestik bisa berkembang secara maksimal," ungkapnya.
Maka, tak mengherankan, kata Dahnil, saat dilakukan penandatanganan kontrak untuk pembelian Rafale, ada deretan MoU lainnya yang diteken. Kesepakatan itu merupakan bagian dari perjanjian untuk mendukung perkembangan industri pertahanan di dalam negeri.
"Dari empat kriteria itu, yang menurut kami paling memenuhi secara maksimal adalah Prancis. Sehingga, kami menjatuhkan pilihan ke Dassault Rafale," katanya.
Kesepakatan pembelian enam unit Rafale ini, kata Dahnil, menjadikan Indonesia menjadi negara kedua di Benua Asia yang bakal memiliki jet tempur canggih tersebut. Negara lainnya yang telah memiliki Rafale adalah India.
Dikutip dari laman RFI, India telah memiliki 33 jet tempur Rafale. Sementara, dalam kesepakatan yang diteken pada 2016 lalu, India masih menunggu tiga jet tempur lainnya.
Padahal, pada 2007, India berkeinginan untuk membeli 126 jet tempur baru. Namun, kemudian diralat menjadi 36 jet tempur unit.
Semula, Malaysia ingin mendahului Indonesia untuk membeli jet tempur Rafale. Tetapi, pada 2017 lalu, Perdana Menteri Najib Razak mengatakan Negeri Jiran belum siap untuk membeli jet tempur canggih itu.
Laporan | : | Faisal |
Editor | : | Ruslan Amrullah |