Selasa, 19 Oktober 2021 - 18:16 WIB
Artikel.news Jakarta - Tragedi Bintaro merupakan peristiwa kecelakaan kereta api paling tragis dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia. Peristiwa ini terjadi di Bintaro, Tangerang, tepat 34 tahun yang lalu atau pada 19 Oktober 1987. Sebanyak 156 korban meninggal dan 300 korban luka-luka pada tragedi ini.
Tragedi Bintaro terjadi atas tabrakan kereta api atau KA 220 Patas Merak dengan KA 225 di Pondok Betung, Bintaro. Kereta api ekonomi patas jurusan Tanah Abang-Merak yang berangkat dari stasiun Kebayoran tersebut bertabrakan dengan kereta api ekonomi cepat jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota dari stasiun Sudimara, seperti dikutip Detik.com dari buku Mengkaji Manajemen Krisis di Indonesia oleh A. Halim Mahfudz, Selasa (19/10/2021).
Tabrakan di tragedi Bintaro terjadi setelah KA 220 Patas Merak dengan KA 225 di Pondok Betung yang dari arah berlawanan melaju di satu rel yang sama. Kecelakaan ini membuat lokomotif dan gerbong pertama kedua kereta hancur dan merenggut nyawa awak dan penumpang.
Tragedi Bintaro terjadi di jam padat penumpang sekitar pukul 07.00 WIB. KA 225 Rangkas Bitung-Jakarta Kota mengangkut 1.887 penumpang, yang disebut melebihi kepadatan maksimal 200 persen dari kapasitas kereta. Kondisi penerapan kebijakan kereta api saat itu di antaranya penumpang masih dapat memenuhi lokomotif dan atap gerbong.
Sementara itu, KA 220 Tanah Abang-Merak masih dalam batas kapasitas normal, yaitu 72,6 persen atau sekitar 478 penumpang yang duduk di kursi penumpang masing-masing.
Tragedi Bintaro bermula dari kabar bahwa KA 220 Tanah Abang - Merak berangkat dari stasiun Kebayoran menuju stasiun Sudimara. Kabar ini mengejutkan petugas di stasiun Sudimara karena ketiga lajur kereta atau sepur di stasiun Sudimara terisi oleh kereta, salah satunya KA 225 Rangkas Bitung-Jakarta Kota.
Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA) Stasiun Sudimara lalu meminta persilangan kereta dilakukan di Stasiun Kebayoran. Akan tetapi, rupanya terjadi pergantian petugas PPKA di stasiun Kebayoran. PPKA Kebayoran yang baru tidak tahu rencana ini karena kontak setelah itu tidak sampai dengan jelas.
Setelah akhirnya tahu dari PPKA Kebayoran bahwa KA 220 terus berangkat menuju Sudimara, PPKA Sudimara berupaya mengosongkan salah satu sepur di Sudimara untuk KA 220. Caranya yaitu dengan langkah darurat sesuai prosedur, memindahkan rangkaian KA 225 di sepur 3 ke sepur 1 yang sebenarnya sudah ada rangkaian tujuh gerbong.
Kabar rencana pemindahan ini naasnya tidak sampai kepada masinis KA 225 Slamet Suradyo. Rencananya, KAA 225 berhenti di Sudimara dulu sampai kereta api dari Jakarta lewat. Slamet lalu membawa kereta dari stasiun Sudimara ke Kebayoran dengan rencana awal, yaitu persilangan kereta di Stasiun Kebayoran.
Petugas stasiun Sudimara lalu berlari meniupkan terompet sambil menggerakkan kedua tangan sebagai tanda darurat kereta agar berhenti. Naas Slamet tidak melihat tanda tersebut hingga sebuah kereta datang dari arah timur pada tikungan berjari 407 meter.
Sebagian penumpang KA 225 melompat sementara masinis KA 220 berupaya mengerem kereta. Naasnya, tabrakan merenggut nyawa manusia di dalam kereta di tragedi Bintaro 19 Oktober 1987.
Laporan | : | Fadli |
Editor | : | Ruslan Amrullah |