Rabu, 19 November 2025 - 22:58 WIB
Berbeda dengan mahasiswa yang lain, Serah Nuban (20), tidak banyak berkeliaran di luar. Dia memilih berjuang untuk membiayai kuliahnya dengan menenun di kamar kos.

Artikel.news, Kupang - Berbeda dengan mahasiswa yang lain, Serah Nuban (20), tidak banyak berkeliaran di luar. Dia memilih berjuang untuk membiayai kuliahnya dengan menenun di kamar kos.
Serah adalah mahasiswi semester tiga Program Studi Pendidikan Seni dan Keagamaan, Fakultas Keguruan, IAKN Kupang. Berbeda dengan teman seusianya yang menghabiskan malam dengan hiburan atau tidur, Serah memilih menenun.
“Kalau tidak ada tugas kampus, saya biasanya menenun sampai tengah malam, pukul 23.00 Wita,” ujarnya, dikutip dari Kompas.com, Selasa (19//11/2025).
Perempuan asal Desa Tuataum, Kecamatan Toianas, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), itu mewarisi keterampilan menenun dari ibunya, Orpa Tiumlafu.
Bagi Serah, ibunya bukan sekadar guru, tapi maestro tenun terbaik di desanya. Sejak duduk di bangku SD, Serah selalu mengamati gerakan tangan ibunya yang sabar dan terampil.
Lambat laun, ia belajar menenun, meski baru menguasai sekitar 30 persen dari teknik sang ibu.
Kini, hasil tenunannya bukan sekadar kain. Buna Laba-laba, Buna Sahabe’o Naek, Buna Lan Mese, dan Buna Atalae Naek adalah sebagian dari mahakarya yang lahir dari jemari Serah.
Setiap kain dijual antara Rp2 juta hingga Rp5 juta melalui Facebook. Pembelinya datang dari berbagai penjuru Indonesia, bahkan luar negeri.
Uang itu bukan untuk kesenangan, tapi untuk membiayai kuliah, kos, dan kebutuhan sehari-hari. Benang demi benang yang ia rajut adalah biaya semester, makan, dan mimpi yang terus dijahit rapi.
Menjadi penenun bukan hanya soal teknik, tapi juga kesabaran. Untuk satu kain, Serah butuh waktu dua bulan penuh. Bila kesulitan, video call dengan ibunya menjadi penyelamat.
Di kampung halaman, setiap libur adalah kesempatan untuk memperdalam ilmu. Ibunya mengajari dengan sabar, menuntunnya memahami teknik sulit, seperti memutar benang disebut puet abas dan menenun motif rumit, termasuk motif burung garuda.
“Mama selalu bilang, kerapian dan benang yang tidak luntur adalah kunci agar kain disukai dan laku dijual,” kata Serah.
Meski tangan dan matanya lelah, Serah tetap gigih. Kadang ia menenun sambil mengikuti kuliah daring, menggabungkan pendidikan dan tradisi.
Bahkan, karya-karyanya dipamerkan dalam fashion show di kampus, membuktikan bahwa budaya bisa hidup bersamaan dengan modernitas.
Serah punya impian besar menjadi dosen tenun ikat dan menguasai sepenuhnya ilmu yang diwariskan ibunya.
| Laporan | : | Fadli |
| Editor | : | Ruslan Amrullah |