Jumat, 11 Juni 2021 - 14:39 WIB
Artikel.news, Jakarta - Pedagang pasar menyatakan menolak keras tentang rencana pemerintah untuk memberikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada Bahan pokok atau biasa disebut sembako.
Pasalnya, para pedagang ini mengaku sudah kesulitan di masa pandemi Covid-19, lalu pemerintah membuat kebijakan lagi terkait PPN sembako.
"Kami memprotes keras upaya-upaya tersebut. Kami mencatat lebih dari 50 persen omzet pedagang pasar menurun. Di samping itu pemerintah belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan di beberapa bulan belakangan ini," jelas Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Abdullah Mansuri, saat dihubungi Merdeka.com, Jumat (11/6/2021).
Dia mencontohkan, harga komoditas cabai di bulan lalu mampu menembus Rp 100.000 per kilogram. Terlebih, saat ini, harga daging sapi di pasaran juga masih belum stabil.
"Apakah di pasaran mau di bebani PPN lagi? Kami sedang kesulitan jual karena ekonomi menurun, dan daya beli masyarakat rendah. Mau ditambah PPN lagi, gimana tidak gulung tikar!," kesalnya.
Maka dari itu, IKAPPI menolak keras rencana penerapan kebijakan tersebut. Saat ini, IKAPPI sebagai organisasi penghimpun pedagang pasar di Indonesia berencana melakukan upaya protes langsung kepada Presiden Jokowi agar membatalkan kebijakan tersebut.
"Sehingga, kementerian terkait tidak melakukan (pengenaan PPN). Karena upaya-upaya itu justru menyulitkan anggota kami (pedagang pasar)," tukasnya.
Sebelumnya, anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Anis Byarwati, tidak setuju jika pemerintah benar-benar menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok atau sembako.
“Jelas tidak setuju, mengenakan PPN terhadap barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, menurut saya akan berpotensi semakin memberatkan kehidupan masyarakat bawah,” kata Anis kepada Liputan6.com, Kamis (10/6/2021).
Selain itu juga akan kontraproduktif dengan upaya Pemerintah menekan ketimpangan melalui reformasi perpajakan dalam revisi Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Menurutnya, saat ini saja daya beli masyarakat masih rendah dan belum kembali normal seperti sebelum pandemi covid-19. Jika daya beli masyarakat ditekan maka secara otomatis konsumsi rumah tangga akan menurun.
“Kalau konsumsi turun berarti pendapatan pemerintah juga akan turun. Jangan sampai kebijakan perpajakan kontraproduktif,” ujarnya.
Laporan | : | Jannah |
Editor | : | Ruslan Amrullah |