Ahad, 13 Maret 2022 - 21:56 WIB
Artikel.news, Makassar - Digitalisasi semakin berkembang, penggunaan media sosial pun tentunya semakin meningkat, terlebih fitur-fitur di dalamnya terus diperbaharui.
Hal ini pula lah yang memicu banyak orang yang dengan mudahnya berbagi kesehariannya melalui fitur status atau feed di laman media sosialnya.
Tanpa disadari kebiasaan ini, malah memicu sifat flexing di beberapa kalangan terutama artis . Tidak sedikit yang berlomba-lomba memamerkan kemewahan masing-masing. Sehingga tentunya memancing berbagai reaksi komentar dari warganet.
Kompetisi memamerkan berbagai kemewahan ini tentunya bukan hal yang baik. Apalagi, jika ternyata pada kenyataannya, tidak sesuai dengan ekspektasi atau pandangan orang dengan apa yang dipamerkan.
Dilansir dari detikNews, Ahad (13/3/32022), flexing merupakan slang word atau kata gaul dari Amerika yang memiliki arti suka pamer. Flexing juga bisa didefinisikan dengan arti menyombongkan diri dengan memamerkan kemewahan ataupun kekayaan.
Saat ini, seiring berkembangnya zaman bisa kita temui fenomena flexing di dunia maya. Mereka melakukan pencitraan pada diri sendiri (personal branding) dengan saling memamerkan kekayaan. Faktanya hal ini merupakan salah satu strategi untuk kepuasan diri sendiri, bahkan untuk menarik perhatian publik.
Fenomena flexing ini mencuat pasca tindakan yang dilakukan Simon Hayut yang mengaku sebagai Simon Leviev, ia berpura-pura sebagai miliarder.
Simon menipu korban-korbannya melalui aplikasi kencan Tinder dengan memasang berbagai foto mewahnya untuk memikat kaum perempuan. Bahkan, ia mengajak mereka kencan mewah dengan menaiki jet pribadi, makan malam, hingga menginap di hotel mewah.
Parahnya, ia melakukan penipuan dengan dalih menghindari musuh bisnis dengan meminjam uang korban. Hal ini dilakukan agar ia bisa terus berfoya-foya dan memamerkan kemewahannya untuk menarik mangsa. Tindakan ini bisa disebut sebagai skema ponzi yang merupakan investasi palsu dari uang penipu sendiri.
Fenomena ini kemudian diangkat dalam sebuah film dokumenter 'The Tinder Swindler' yang tayang di Netflix dan menduduki Top 10 di Indonesia Today.
Tidak sedikit yang memanfaatkan fenomena ini sebagai strategi untuk memperoleh banyak followers di media sosial yang membuat kita bisa mendapatkan endorsement atau keuntungan lainnya dengan rate yang tinggi.
Dilansir dari CNN Indonesia, Psikolog Indah Sundari Jayanti memaparkan, bahwa flexing menampakkan kebutuhan terhadap eksistensi diri. Era digitalisasi tentunya membuat fenomena ini semakin marak terjadi.
Kepribadian, ketakutan akan penolakan, pengaruh lingkungan, serta kebutuhan yang tinggi akan eksistensi membuat sifat flexing ini terbentuk.
Mengingat fenomena ini begitu marak dan dianggap biasa, Indah menegaskan bahwa tindakan ini tidak bisa dikatakan sepenuhnya abnormal.
Kecuali, flexing ini mengganggu aktivitas, merugikan orang lain, atau bahkan merubah diri kita menjadi pribadi yang berbeda, bahkan cenderung buruk. Maka, flexing seperti itu bisa masuk dalam kategori gangguan psikologis.
Kepercayaan diri itu sangatlah penting. Menjadi diri sendiri tanpa harus memenuhi ekspektasi orang lain merupakan tindakan yang menunjukkan bahwa kita mencintai, menghargai, dan menerima diri kita apa adanya. So, jangan mau melakukan tindakan flexing ini ya, Beauties. Banggalah dengan diri kita apa adanya.
Laporan | : | Jannah |
Editor | : | Ruslan Amrullah |