Rabu, 22 Januari 2025 - 20:39 WIB
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi. (Foto: Istimewa)
artikel.news, Jakarta- The ASEAN+3 Macroeconomic Research Office AMRO menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 5,1% pada 2025. Proyeksi tersebut terungkap dalam laporan terbaru AMRO bertajuk ASEAN+3 Regional Economic Outlook Update edisi Januari 2025.
Hal itu mengemuka dalam acara Global Research Briefing (GRB) Economic Outlook 2025 di Jakarta, Selasa (21/1/2025). Acara itu dihadiri Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan RI Agus Harimurti Yudhoyono.
Selain itu, hadir pula Chief Economist, ASEAN and South Asia, Standard Chartered Edward Lee, Senior Economist Standard Chartered Indonesia Aldian Taloputra, dan Cluster CEO, Indonesia and ASEAN Markets (Australia, Brunei, dan Filipina) Standard Chartered, Dony Donosepoetro serta lembaga keuangan internasional dan nasional.
Dalam laporan edisi Oktober 2024, AMRO memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,2% pada 2025.
Kepala Ekonom AMRO Hoe Ee Khor menjelaskan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi bukan hanya terjadi di Indonesia namun rata-rata kawasan Asean+3 (negara-negara Asean ditambah China, Jepang, dan Korea Selatan).
Secara keseluruhan, AMRO memproyeksikan perekonomian kawasan Asean+3 akan tumbuh 4,2% pada 2025. Angka tersebut turun dibandingkan proyeksi pada Oktober 2024 yaitu 4,4%.
Hoe lanjut menjelaskan bahwa penurunan tersebut diakibatkan ancaman peningkatan tarif Amerika Serikat (AS) atas barang-barang impor asal China. Menurutnya, kebijakan tersebut akan membebani perekonomian negara-negara Asean+3.
"Meningkatnya tensi perdagangan, khususnya pengenaan tarif AS yang lebih tinggi, dapat melemahkan permintaan eksternal untuk kawasan tersebut dan kawasan lain di dunia pada tahun mendatang," ujar Hoe dalam keterangannya, Selasa (21/1/2025).
Sementara itu, Senior Economist Standard Chartered Indonesia Aldian Taloputra menyebut bahwa Indonesia dinilai siap menghadapi tantangan global di tengah ketidakpastian yang tinggi. Hal itu mengemukan dalam acara Global Research Briefing (GRB) Economic Outlook 2025 di Jakarta, Selasa (21/1/2025).
"Dalam laporan Global Focus-Economic Outlook 2025,“Standard Chartered merevisi perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di Indonesia sepanjang tahun 2025, dari sebelumnya 5,1 persen menjadi 5 persen” jelas Aldian.
Hal itu, kata Aldian, tentunya sangat mencerminkan momentum yang stabil yang berlanjut dari tahun 2024.
“Kita lihat memang tantangannya masih cukup besar dari ketidakpastian global. Namun kami masih melihat investasi, inflasi yang terkendali, dan kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif dapat menyokong permintaan dalam negeri,” ujar Aldian.
Hanya saja, menurut dia, bahwa dampak dari meningkatnya perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China diperkirakan bersifat terbatas mengingat ketergantungan Indonesia yang lebih besar pada permintaan domestik.
“Namun, kebijakan perdagangan baru dari AS dapat membuat suku bunga AS tetap tinggi sehingga membatasi ruang untuk stimulus kebijakan dari bank sentral dan pemerintah,” ungkap Aldian.
"Sementara itu, pengeluaran rumah tangga diperkirakan akan meningkat secara bertahap sebesar 4,9 persen pada 2025, didukung oleh berlanjutnya belanja kesejahteraan sosial, inflasi yang terkendali, penundaan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, dan menguatnya pasar tenaga kerja secara berkelanjutan," sambungnya.
Diketahui, bahwa rata-rata inflasi pada 2025 diperkirakan 2,4 persen, didukung oleh stabilisasi harga pangan, kestabilan harga bahan bakar minyak (BBM), dan subsidi tarif listrik dari pemerintah.
Adapun terkait kebijakan moneter, Standard Chartered memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan memotong suku bunga hingga 50 basis point pada semester kedua 2025, dengan pelonggaran lebih lanjut dari bank sentral AS, The Fed, mampu menstabilkan nilai tukar rupiah.
Saat ini, BI tengah memperkuat operasi pasar terbuka dengan menjaga jarak antara imbal hasil surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) dengan tenor 12 bulan (12M SRBI) dan obligasi Pemerintah AS bertenor 2 tahun (2Y UST) tetap lebar. Pada 10 Januari 2025, suku bunga 12M SRBI tercatat 7,23 persen, yang dinilai cukup menarik untuk mendorong aliran masuk modal asing.
Bank Indonesia juga memperpanjang insentif likuiditas kepada bank-bank yang memberi pinjaman pada sektor padat karya dan siap memperluas insentif tersebut jika pertumbuhan ekonomi menunjukkan pelemahan lebih lanjut atau jika tingkat suku bunga global yang tinggi secara persisten membatasi ruang untuk pemotongan suku bunga di dalam negeri.
Selain itu, peningkatan permintaan biodiesel berbasis kelapa sawit di Indonesia diperkirakan akan mendorong harga minyak sawit mentah (CPO) naik sebesar 5,4%, mencapai rata-rata 4.350 ringgit per metrik ton.
Kebijakan peningkatan campuran biodiesel hingga 40% diharapkan menyerap tambahan 1,2 hingga 1,7 juta metrik ton CPO, mengurangi ketersediaan ekspor dan berpotensi menguntungkan ekspor Malaysia.
Untuk memperkuat cadangan devisa, pemerintah Indonesia akan memberlakukan regulasi yang mewajibkan eksportir sumber daya alam menahan seluruh hasil ekspor di dalam negeri selama minimal satu tahun. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan cadangan devisa hingga 90 miliar dolar AS per tahun.
Di sisi moneter, Bank Indonesia secara tak terduga menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,75% untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meskipun langkah ini menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas nilai tukar rupiah di tengah volatilitas pasar keuangan global.
Di tingkat regional, perekonomian ASEAN diperkirakan akan mengalami perlambatan ringan pada tahun 2025, akibat kondisi moneter yang lebih ketat dan meredanya permintaan eksternal, terutama bagi negara-negara dengan ketergantungan ekspor yang signifikan. Perekonomian negara-negara dengan pasar domestik yang kuat, seperti Indonesia, India, dan Filipina, dinilai akan lebih siap menghadapi hambatan global.
Laporan | : | Annisa Shafaroh |
Editor | : | Ruslan Amrullah |